Tailing Freeport menjadi ancaman serius, pembangunan dan perkembangan wilayah.
Salah satu daratan yang terjadi karena endapan tailing di perairan Timika. (Yoga Pribadi via Mongabay.co.id) |
Yoga
Pribadi, staf Dinas Kelautan dan Perikanan Timika, memperlihatkan foto
mirip setu. “Tidak, tidak…ini tempat penampungan tailing Freeport. Ini
tembok bendung area timur,” katanya.
Yoga memotret saat dari pesawat kala ke Jakarta beberapa waktu lalu ketika hendak mendarat di bandara Timika. Di foto itu, Kota Mimika–pusat kota di Timika–terlihat kecil, lebih rendah dari tembok penangkal tailing.
Penampungan tailing itu dikenal dengan nama ModADA (Modelling Ajkwa Deposition Area) dengan luas 230 hektar. Jarak dari pesisir pantai mencapai 120 kilometer. Jika produksi Freeport normal, tailing yang mengendap di ModADA mencapai 230.000 ton per hari. Endapan-endapan inilah yang penuh lalu terbawa aliran hujan, hingga merembes ke Sungai Ajkwa.
Ajkwa adalah sungai besar dengan puluhan anak sungai. Lebar mencapai 200 meter. Sungai ini menjadi perlintasan antar kampung. Namun, limbah tailing Freeport terbawa arus ke sungai, Ajkwa seperti menciut. Di dekat muara, jika air laut surut Ajkwa menjadi seperti kali kecil, lebar hanya lima meter.
Sisi-sisi sungai telah ditumbuhi beberapa tanaman bakau. Tailing yang mengendap membuat daratan baru. “Secara kasat mata, ada penambahan daratan dan menambah tanaman bakau. Ekosistem air terganggu. Paling utama akses masyarakat terganggu,” kata Yoga.
Senada diungkap Hariyadi Nugroho, staf Dinas Kelautan dan Perikanan Timika. “Kami sudah bertemu dengan Freeport terkait pembuangan tailing 2003. Hingga sekarang tak ada solusi," ujarnya.
Selain sisa buangan itu mengganggu ekosistem, tujuh kampung di pesisir menjadi terganggu. Masyarakat sehari-hari hanya mencari ikan dan kebutuhan hidup di pinggiran hutan bakau, harus keluar ke garis pantai lebih jauh.
Jika menghitung, pendangkalan dari Sungai Ajkwa hingga muara, bisa mencapai ratusan hektar. “Kami belum pernah menghitung pasti. Namun, untuk muara mencapai 100 hektar. Kemudian saat keluar di laut, tailing halus seperti tepung itu, terbawa aliran aliran menuju arah timur. Itu tak terhitung daya jangkaunya.” katanya.
Yoga memotret saat dari pesawat kala ke Jakarta beberapa waktu lalu ketika hendak mendarat di bandara Timika. Di foto itu, Kota Mimika–pusat kota di Timika–terlihat kecil, lebih rendah dari tembok penangkal tailing.
Penampungan tailing itu dikenal dengan nama ModADA (Modelling Ajkwa Deposition Area) dengan luas 230 hektar. Jarak dari pesisir pantai mencapai 120 kilometer. Jika produksi Freeport normal, tailing yang mengendap di ModADA mencapai 230.000 ton per hari. Endapan-endapan inilah yang penuh lalu terbawa aliran hujan, hingga merembes ke Sungai Ajkwa.
Ajkwa adalah sungai besar dengan puluhan anak sungai. Lebar mencapai 200 meter. Sungai ini menjadi perlintasan antar kampung. Namun, limbah tailing Freeport terbawa arus ke sungai, Ajkwa seperti menciut. Di dekat muara, jika air laut surut Ajkwa menjadi seperti kali kecil, lebar hanya lima meter.
Sisi-sisi sungai telah ditumbuhi beberapa tanaman bakau. Tailing yang mengendap membuat daratan baru. “Secara kasat mata, ada penambahan daratan dan menambah tanaman bakau. Ekosistem air terganggu. Paling utama akses masyarakat terganggu,” kata Yoga.
Senada diungkap Hariyadi Nugroho, staf Dinas Kelautan dan Perikanan Timika. “Kami sudah bertemu dengan Freeport terkait pembuangan tailing 2003. Hingga sekarang tak ada solusi," ujarnya.
Selain sisa buangan itu mengganggu ekosistem, tujuh kampung di pesisir menjadi terganggu. Masyarakat sehari-hari hanya mencari ikan dan kebutuhan hidup di pinggiran hutan bakau, harus keluar ke garis pantai lebih jauh.
Jika menghitung, pendangkalan dari Sungai Ajkwa hingga muara, bisa mencapai ratusan hektar. “Kami belum pernah menghitung pasti. Namun, untuk muara mencapai 100 hektar. Kemudian saat keluar di laut, tailing halus seperti tepung itu, terbawa aliran aliran menuju arah timur. Itu tak terhitung daya jangkaunya.” katanya.