Derita batin yang dialami istriku, dibawanya hingga akhir hayatnya.
Sungguh tak ada yang paling kusesali kecuali rasa berdosa akan semua
kelakuanku. Pembaca, sebut saja aku Gali (bukan nama sebenarnya). Aku
menikah dengan Dea (bukan nama sebenarnya) tahun 2000 lalu, dan kini
telah dikaruniai seorang anak.
Pernikahanku dengan Dea memang tak dilandasi rasa cinta dan sayang
yang kuat, karena awalnya aku hanya tertarik dengan penampilannya yang
menggoda. Tetapi kemudian secara perlahan aku mulai benar-benar tertarik
dengan Dea. Kepribadian dan kesabarannya mampu membuat hatiku luluh,
selain itu ia juga sangat berjasa terkait dengan karirku yang melesat
dengan cepat, jika bukan karena masukan-masukan dari Dea mungkin aku tak
bisa meraih jabatan manager di kantorku.
Sayangnya keluluhan hatiku hanya bertahan dua tahun saja. Tahun-tahun
berikutnya aku kembali kekehidupan masa laluku dan semakin terlena
dengan kehidupanku sendiri meninggalkan kewajibanku sebagai suami dan
seorang ayah. Kepribadian dan kesabaran Dea tak lagi bisa menahan
hasratku untuk sering berada diluar rumah hanya demi bersenang-senang
bersama teman-temanku.
Dea tak lagi mampu mengubah gaya hidupku yang setiap hari hanya
menghabiskan waktu di meja judi. Saat ijab kabul aku pernah berjanji tak
akan lagi kembali ke dunia itu. Namun, waktu kemudian meluluhkan
semuanya, aku tergiur lagi untuk menghabiskan uangku dengan berjudi,
main perempuan dan mabuk-mabukan, tak jarang uang jutaan rupiah habis
dalam tempo satu hari saja.
Namun begitu, Dea tetap berusaha keras merubah kebiasaanku, merubah
keadaan yang semakin sulit dengan nasehat-nasehat, tapi apa yang
kuberikan hanyalah derita batin. Seringkali tanpa pernah kusadari, semua
kebaikannya kubalas dengan pukulan, cacian dan makian. Tapi entah
mengapa Dea tetap bersabar sampai anak pertama kami lahir. Saat Dea
melahirkan aku bahkan sedang dalam pelukan seorang perempuan.
Padahal pada saat itu, Dea berharap kelahiran anak pertama kami itu
bisa merubah sikap dan kebiasaan burukku. Tapi ternyata semua itu tak
sedikitpun berpengaruh, kelahiran anakku justru semakin membuat aku
merasa risih dan terbebani. Dan hal itu semakin membuatku jarang pulang
ke rumah. Aku lebih senang menyewa kamar hotel karena bisa lebih bebas
dan tak terganggu dengan tangisan anakku.
Semakin hari, cemoohan dan tekanan dari keluarga yang diterimanya,
membuat Dea menderita lahir batin. Rupanya, hal itu ia pendam seorang
diri, sehingga menjadi penyakit yang berkepanjangan. Sementara, aku
hanya membiarkan itu terjadi padanya. Seolah tak terbetik sedikitpun
kesadaran dalam hatiku untuk, memperhatikannya, membantunya, apalagi
membahagikannya.
Setahun kemudian, Dea tergolek sakit. Beberapa kali ia memintaku
untuk membawanya ke rumah sakit, namun, semua tak kupedulikan. Aku lebih
suka menyibukan diriku dan menghabiskan semua penghasilanku di meja
judi bersama teman-temanku, ketimbang membiayai pengobatan Dea.
Hanya berselang beberapa bulan kemudian kondisi Dea makin memburuk.
Dokter sudah tak mampu lagi mengatasinya. Semua terlambat, penyakit
kanker yang diawali dengan tekanan mental selama ini, membuat nyawa Dea
tak terselamatkan lagi. Dea meninggal dunia, saat aku berada di meja
judi.
Diakhir-akhir hidupnya barulah aku tersadar, ternyata, Dea sudah
membuktikan betapa selama ini ia selalu berusaha berbakti padaku, sampai
kemudian Tuhan benar – benar memanggilnya kembali. Aku sempat sadar
ketika masa – masa kritis dilaluinya. Aku berjanji akan menghabiskan
sisa hidupku untuk Dea. Tapi, rencana Tuhan lain, Dea dipanggilnya di
saat aku mulai menyadari segalanya. Terlambat sudah, tinggal kini
penyesalan yang ada.
Pembaca, entahlah apakah Tuhan masih mau membuka pintu ampunan
bagiku. Yang jelas saat ini, aku tengah berusaha untuk menggunakan
waktuku untuk menjaga dan membesarkan anakku seorang diri. Aku sudah
bersumpah tak akan ada wanita yang menggantikan posisi Dea di hatiku.
Mudah-mudahan kisahku ini bisa menjadi pelajaran bagi semua.