Pendidikan Logika |
Misalnya: Bahasa Inggeris diajarkan tiga tahun di SMP dan tiga tahun di SMA. Begitu jadi mahasiswa, tidak mampu membaca texbook. Siswanya yang bodoh? Tidak! Sistemnya yang salah. Seharusnya matapelajaran yang tak begitu penting dibuang saja. Kemudian, Bahasa Inggeris dan Matematika diberikan tiap hari, misalnya!
Contoh 1:
Seorang guru TK yang kebetulan sering membaca buku-buku tentang ilmu logika memperhatikan tiga siswinya. Katakanlah Si A, Si B dan Si C.
Si A memetik bunga mawar berwarna merah.
Si B memetik bunga mawar berwarna kuning
Si C memetik bunga mawar berwarna putih
Bu Guru bertanya ke Si A:
“Kenapa kok kamu memilih mawar merah?”
Si A menjawab:
“Soalnya, kata mama,warna merah adalah lambang keberanian”
Nah, jawaban si A mengandung unsur logika dan objektif
Bu Guru bertanya ke Si B:
“Kenapa kok kamu memilih warna kuning?”
Si B menjawab:
“Ya, karena saya suka warna kuning”
Ada unsur logika,tetapi subjektif
Bu Guru bertanya ke Si C:
“Kenapa kok kamu memilih warna putih?”
Si C menjawab:
“Nggak tahu”
Tidak ada logikanya di sini.
Itu anak TK. Namun gejala seperti itu bisa saja terjadi di lingkungan mahasiswa.
Contoh 2:
Ketika ada demo mahasiswa anti UU-BHP, maka seorang wartawan bertanya:
“UU-BHP Pasal berapa yang Anda tolak?”
mahasiswa itu menjawab:
“Ya,pokoknya saya menolak UU-BHP”
Tidak ada penalarannya. Boleh jadi mahasiswa tersebut belum pernah membaca UU-BHP
Contoh 3:
Seorang calon sarjana Bahasa Arab bertanya ke saya.
“Mas,saya nanti kalau sudah lulus,kerjanya di mana,ya?
Saya tanya:
“Lha,dulu kamu memilih Jurusan Bahasa Arab,motivasinya apa?”
Jawabnya:
”Ya,yang penting saya diterima di PTN,Mas.”
Nah,motivasi dan logikanya tidak rasional..
Contoh 4:
Cara memakai gelar S1 dan S2 sekaligus juga cermin logika yang salah.
Misalnya: SH,MH atau ST,MM dan lain-lain
Seharusnya sistem pendidikan kita mengajarkan pelajar/mahasiswa untuk “bernalar” dan bukannya “menghafal”.
Hasil sistem pendidikan kita akhirnya menghasilkan orang-orang yang bisa mengatakan “salah”, tapi tak ada penalarannya. Atau mengatakan “betul”, tetapi tak ada penalarannya.
Bahkan tawuran antar pelajar,antar mahasiswa dan antarwarga merupakan manifestasi betapa lemahnya fungsi penalaran. Masalah diselesaikan dengan emosi dan bukan dengan akal.
Semua terjadi akibat pelajar/mahasiswa tak pernah diajak bernalar.
Sistem pendidikan kita menghasilkan lulusan “penghafal” dan bukan “pemikir”
Thanks to ffugm.wordpress.com
Pecinta Ilmu Logika Terapan
Sejak 1980